Selasa, 17 April 2012

Mitos


Kali ini saya akan memposting cerpen horor buatan saya, cerita ini dari kisah sebagian fiksi dan sebagian dari pengalaman pribadi saya.




       Hari jum’at siang itu tak ada lagi jadwal kuliah, maka aku memutuskan untuk pulang ke kampung.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih, akhirnya aku sampai di kampung halaman tercinta, ku parkir motorku di samping rumah.
“Assalamualaikum... “ Ucapku sambil melangkah masuk ke rumah.

“waalaikumsalam...”sahut ibu dari dapur.
       

       Tanpa banyak kata aku langsung saja menuju kamarku,ku letakkan ransel di samping ranjang,ku rebahkan tubuh ini di kasur dan ku pejamkan mata sejenak,terasa nyaman sekali untuk melepaskan lelah diperjalanan yang mengerogoti tubuhku.


“a, kita nontonan film kah,? ada kaset hanyar nah”(Ka, nonton film yuk... Ada dvd baru nih). Adikku melongo kedalam kamar.

“Film apa?“ jawabku.

“Nih”, ia menunjukan dvd nya padaku.

“hufff...” Aku meniup poni yang menggantung dimataku.”Horor  indo...“, ya sudahlah dari pada bengong dikamar pikirku. Aku beranjak dari tempat tidur dan menuju keluar.

        Adikku mulai memutar film nya. Sampai pertengahan film tak ada satu adegan pun yang membuatku tegang. Sementara adikku beberapa kali menutupi wajahnya karena takut.
        
        Bukannya mau meremehkan film horor indonesia, hanya saja film yang benar-benar membuatku bergidik itu hanya “Kuntilanak bagian 1, 2, dan 3.” Film yang disutradarai oleh “Rizal Mantovani” dan diperankan “ Julie Estelle” itu, menurutku memang bagus. Dan lebih penting lagi tak ada adegan yang tak senonoh atau Mesum seperti horror yang kini hanya mengandalkan adegan-adegan panas di tampilkan di film tersebut. Tapi entahlah mungkin itu hanya menurutku saja.


“Hehhh, kadada saram-saramnnya film. (halah, nggak ada serem-seremnya ini film). Kataku.

“Jaka baulah kisah Anak Sima lahai, bisaai saram” (Seandainya buat cerita tentang Anak Sima, mungkin akan seram). Ibuku menyahut dengan bahasa banjar hulunya yang kental dari ruang tamu. Ternyata ia dari tadi ikut menyaksikan film yang kami tonton.

“Hi’ih lai, mun kaini-kaini ha muyak hudah” (Iya ya, kalau kaya gini terus. Bosan). Ujarku.

“Dasar pian jua tuh sudah patuh lawan hantu-hantu, jadi kada takutan lagi.” Hahaha... (Emang kamu nya aja yang udah kenal sama hantu-hantu, jadi nggak takut lagi). Kata dewi sambil tertawa. Ibu dan aku pun ikut nyengir mendengarnya.


      Anak Sima, mungkin hanya orang Banjar asli yang tahu dengan cerita mahluk gaib ini. Anak sima adalah sosok anak hasil hubungan terlarang atau anak tidak diinginkan yang kemudian dibuang oleh ibunya lalu mati. Dan kemudian jasadnya di asuh oleh Takau (Hantu yang menurut cerita orang banjar bisa berubah menjadi berbagai macam bentuk dan kesaktiannya sangat tinggi). Anak sima mengincar siapa saja yang terpikat ketika mendengar tangisannya. Konon jika korbannya perempuan, ia akan memakan payudaranya hingga ke jantung. Dan jika korbannya laki-laki maka anak sima akan menghisap tubuhnnya melalui kemaluan sampai tubuhnnya kering dan tak bernyawa lagi. Bagi orang yang tahu, ketika mendengar jeritan anak sima yang berusaha memikat, maka akan berkata. ”Aku lain uma ikam, uma ikam dikampung anu”(Aku bukan ibumu, ibumu dikampung anu). Maka anak sima akan pergi ke tempat yang disebutkan.




     Waktu sudah menunjukan pukul setengah 6 sore, aku duduk diteras menikmati temaram menari memamerkan keindahannya yang berwarna merah gelap bercampur kuning keemasan, dan keheningan khas suasana kampung ini begitu mendamaikan hati.

Suara lantunan ayat-ayat suci mulai terdengar dari Mesjid, tanda Maghrib segera menjelang.
“Mel..!” Suara ibu terdengar dari dalam.

“Pun” sahutku. (Pun adalah sahutan sopan kepada orang yang lebih tua).

“Kada baik duduk diluar parak sanja” (Tidak baik duduk diluar, sudah hampir senja).

“Kenapa Gerang?” (Emangnnya kenapa). Aku sediki menyolot.

“Jar urang tu, kada baik, kada baik ai. Lakasi naik ka rumah.”(Kata mama nggak baik, ya nggak baik, cepat masuk kerumah). Suara ibu terdengar sedikit kesal.


Tak ingin membuat ibu marah aku segera menuruti perintahnnya.

“Kada malihat kah ikam sanja kuning, hantu,iblis, parang maya kaluaran tahulah...!”
(Kamu nggak liat ya, senja kuning, hantu, iblis, teluh berkeliaran tau nggak). Ibuku melanjutkan omelannya.
Aku hanya diam mendengarkan. Ibu memang kolot. Namun aku yang mengenyam pendidikan hingga kuliah pun juga, masih tetap percaya pada hal berbau mistis.


“ Allahu akbar... Allahu akbar…”

Suara adzan mulai berkumandang, aku segera mengambil wudhu dan melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim.


       Sehabis menunaikan sholat maghrib, aku duduk diruang tamu bersama ibu disampingku. Terlintas di pikiran ku tentang cerita Anak sima yang disebutkan ibu tadi siang.

”Ma, pian bisalah mandangar kisah urang di anu Anak sima”? (Bu, pernah dengar nggak cerita tentang orang yang jadi korban anak sima).

“bisa ai, bahari pas mama lagi halus, nini mangisahakan.” (Pernah, waktu mama masih kecil dulu nenek yang cerita).

“Kisahakan pang ma!?” (Certain dong ma).


        Ibu pun mulai bercerita, ”Pas mama lagi halus bahari, ada urang jar pas mancari kayu kahutan. Limbah tu mandangar suara kakanakan bayi manangis. Dicarii sidin ai jar suara tu tih, tadapat jar kakanak tu ti dibawah puhun, palihatnnya liwar langkar jar bayi nya tuh.” ‘Kurrr... Sumangat, anakku’ jarnya. Diambilinyaai jar anak tu lalu di intangnnya. Pas dijalan handak dibawanya bulik jar, napa dada sidin rasa padih banar. Sakali dilihati, tunggal dikitan anak simanya mamakani susu urang tu, kada kawa malapas lagi urangnya jar. Sampai habis dimakannya ka jantung-jantung.”
(Waktu dulu mama masih kecil, ada cerita orang yang lagi nyari kayu bakar dihutan terus dia dengar ada suara bayi sedang menangis. Orang itu mencari cari suara itu sampai ketemu, anak itu ada dibawah pohon, dilihatnya anak itu sangat cantik.” ‘Kurrr Sumangat...’ (Merupakan seruan untuk mengembalikan semangat atau menghentikan tangis anak). ‘Anakku...’ Katanya. Dipungutnya bayi itu lalu digendongnya, pas diperjalanan hendak membawa pulang, kenapa orang itu merasa dadanya sangat perih. Setelah dilihatnya ternyata sedikit demi sedikit anak sima itu memakan payudaranya. Orang itu tak bisa lagi melepaskan anak itu. Sampai anak itu memakan jantungnya).
Aku sedikit merinding mendengar cerita ibu.

“Sudahah, kada bulih talalu dikisahakan, kaina saurang bisa didapatinya” (Sudah ahh,tidak boleh terlalu diceritakan, nanti kita bisa ditemuinya). Kata ibu, aku terdiam masih membayangkan cerita itu.


       Ba’da isya aku merebahkan kan tubuhku dikamar,alunan musik terdengar dari headset yang terpasang ditelingaku, aku melirik sisi kiri atas ponselku. Tak terasa waktu menunjukan pukul  sepuluh malam, suasana mulai hening, suara adik dan ibuku tak terdengar lagi mungkin mereka sudah tidur dikamar masing-masing.

“Mel...” Suara ibu mengagetkanku.

“Pun...”

“Jangan kada ingat lah, guring bakalambu” (Jangan lupa, tidur pakai kelambu).

“Inggih.” (Iya). Walaupun mengiyakan aku tak menuruti apa kata ibu ku, karena memakai kelambu itu gerah. Menurutku. Namun kata ibu dulu pernah bercerita, kata orang jaman dulu kelambu bukan hanya sebagai anti nyamuk, tapi juga sebagai penangkal jin jahat dan segala macam jenis teluh.
Karena keasyikan mendengarkan lagu, aku sampai lupa membaca doa sebelum tidur, sampai aku terlelap.


       Jam 1 lewat malam itu, aku terbangun mataku tak mengantuk lagi. Aku mencari-cari ponselku  disekitar tempat tidur. Ku cek apakah ada sms atau tidak, ku otak-atik ponselku itu dari pesan sampai iseng loading facebook. Tak lama kemudian aku dikagetkan oleh suara, terdengar seperti kucing yang berkelahi. Jantungku berdegup kencang, mataku membelalak mengawasi sekitar. Suara itu tak kunjung berhenti, suara anjing melolongpun ikut meramaikan hutan dibelakang rumahku.

Rumahku memang terletak paling ujung dari rumah lain, dibelakang rumahku itu tak ada lagi rumah selain hutan yang merupakan kebun karet dan semak belukar. Merinding bulu kudukku mendengarkan suara-suara itu. Lama kelamaan suara yang terdengar seperti kucing berkelahi itu semakin menjadi dan berubah jadi  seperti suara tangisan anak kecil yang semakin membuatku takut. Aku langsung teringat cerita ibuku, namun rasa takut itu tak mampu mengalahkan rasa penasaranku. Aku memberanikan diri keluar dari kamar dan menuju jendela dapur yang  mengarah ke hutan. Sambil gemetar aku membuka jendela, sontak suara itu menghilang. Suara anjing yang tadinya sangat keras pun ikut menghilang. Hanya gelap yang ku lihat diseluruh hutan, aku bergegas menutup jendela dan berniat kembali ke kamar. Tetapi, suara itu kembali muncul dan kini dari depan rumah, rasa panasaran kembali mengisi kepalaku.


Aku berjalan keluar pelan-pelan, sampai didepan pintu. Karena ada kaca aku tak ingin membuka pintu dan aku pun takut kalau-kalau itu Anak sima seperti yang diceritakan ibuku. Aku mengintip dari jendela, suara jerit tangisan anak itu terdengar menyayat namun memikatku untuk mencarinya. Ku lihat sekeliling depan rumah, dan ku temukan  sosok itu berada dibawah pohon pisang. Seperti bayi baru lahir dan memancarkan warna merah menyala ditubuhnya. Tidak, aku tak akan terpikat olehmu kataku dalam hati. Aku ingin mengucapkan “Aku lain uma ikam, uma ikam dikampung anu.” Untuk mengusir mahluk itu. Namun apa yang terjadi, lidahku kelu tak bisa berkata apa-apa, tenggorokanku tercekat, nafasku sesak. Sial, pikirku. Lebih sial lagi ayah tak ada dirumah, ia pergi ke Samarinda beberapa hari untuk menjalankan usahanya. Aku berniat ingin kembali ke kamar saja. Tapi sama saja, kaki ini kaku tak dapat melangkah. Aku ingin berteriak memanggil ibu, namun aku tak kuasa melakukannya. Tanganku malah bergerak tak terkendali memegang gagang pintu dan memutar kunci, aku ingin menangis dan sekali lagi air mataku pun tak ada yang mau keluar. Ku lirik lagi sosok dibawah pohon pisang itu, kini dapat ku lihat matanya dengan jelas, seperti membiusku terlihat sangat menawan, tapi aku masih bisa menyadari itu adalah tipu dayanya. Aku tak dapat berbuat apa-apa, keringatku bercucuran berusaha lari dari makhluk itu, namun semakin aku mencoba, semakin sesak nafasku. Aku hampir tak dapat bernafas lagi. Hati kecilku ini menjerit. ”Ya Allah, tolong lah hambamu ini, lindungi lah aku dari setan yang terkutuk.” Ku rasakan sebuah tangan memegang pundakku. Semakin kencang jantungku memacu lebih cepat, ku toleh kearah tangan itu, ternyata ibu. Syukurlah kataku dalam hati lega. Ibu mengusap wajahku tak tau mengapa. Seketika badanku terasa ringan, nafasku kembali.


“Jangan dibukai lawang!” (Jangan dibukakan pintu) kata ibuku. Ternyata iya juga mendengar tangisan bayi setan itu.Aku menangguk.

“Lakasi kakamar gin, jangan kada ingat babacaan!!” (cepat ke kamar, jangan lupa baca do’a) kata ibu berbisik.

      Tanpa berkata apa-apa aku dengan lemah menuju kamar, suara itu pun masih ada. Kudengar ibu berkata “Bajauh...! Disini kadada uma kam, uma kam dikampung anu” (Pergi, disini tidak ada ibumu, ibumu dikampung anu.) Lantas kembali kekamarnya. Suara itu pun semakin menjauh lalu lenyap.
Bergegas aku memasang kelambu dan membaca do’a. Kututupi telinga ini dengan bantal dan berusaha melupakan kejadian itu.

By. Melda L


Note : Foto diatas hanya sebagai hiasan dan pembangkit imajinasi saja. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar