Kali ini saya akan memposting cerpen horor buatan saya, cerita ini dari kisah sebagian fiksi dan sebagian dari pengalaman pribadi saya.
Hari jum’at siang itu tak ada
lagi jadwal kuliah, maka aku memutuskan untuk pulang ke kampung.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam lebih, akhirnya aku sampai di
kampung halaman tercinta, ku parkir motorku di samping rumah.
“Assalamualaikum... “ Ucapku sambil melangkah masuk ke rumah.
“waalaikumsalam...”sahut ibu dari dapur.
Tanpa banyak kata aku langsung
saja menuju kamarku,ku letakkan ransel di samping ranjang,ku rebahkan tubuh ini
di kasur dan ku pejamkan mata sejenak,terasa nyaman sekali untuk melepaskan
lelah diperjalanan yang mengerogoti tubuhku.
“a, kita nontonan film kah,? ada kaset hanyar nah”(Ka, nonton film yuk...
Ada dvd baru nih). Adikku melongo kedalam kamar.
“Film apa?“ jawabku.
“Nih”, ia menunjukan dvd nya padaku.
“hufff...” Aku meniup poni yang menggantung dimataku.”Horor indo...“, ya
sudahlah dari pada bengong dikamar pikirku. Aku beranjak dari tempat tidur dan
menuju keluar.
Adikku mulai memutar film nya.
Sampai pertengahan film tak ada satu adegan pun yang membuatku tegang. Sementara
adikku beberapa kali menutupi wajahnya karena takut.
Bukannya mau meremehkan film horor
indonesia, hanya saja film yang benar-benar membuatku bergidik itu hanya
“Kuntilanak bagian 1, 2, dan 3.” Film yang disutradarai oleh “Rizal Mantovani”
dan diperankan “ Julie Estelle” itu, menurutku memang bagus. Dan lebih penting
lagi tak ada adegan yang tak senonoh atau Mesum seperti horror yang kini hanya
mengandalkan adegan-adegan panas di tampilkan di film tersebut. Tapi entahlah
mungkin itu hanya menurutku saja.
“Hehhh, kadada saram-saramnnya film. (halah, nggak ada serem-seremnya ini
film). Kataku.
“Jaka baulah kisah Anak Sima lahai, bisaai saram” (Seandainya buat cerita tentang
Anak Sima, mungkin akan seram). Ibuku menyahut dengan bahasa banjar hulunya
yang kental dari ruang tamu. Ternyata ia dari tadi ikut menyaksikan film yang
kami tonton.
“Hi’ih lai, mun kaini-kaini ha muyak hudah” (Iya ya, kalau kaya gini terus.
Bosan). Ujarku.
“Dasar pian jua tuh sudah patuh lawan hantu-hantu, jadi kada takutan lagi.”
Hahaha... (Emang kamu nya aja yang udah kenal sama hantu-hantu, jadi nggak
takut lagi). Kata dewi sambil tertawa. Ibu dan aku pun ikut nyengir
mendengarnya.
Anak Sima, mungkin hanya orang Banjar asli yang tahu dengan cerita mahluk
gaib ini. Anak sima adalah sosok anak hasil hubungan terlarang atau anak tidak
diinginkan yang kemudian dibuang oleh ibunya lalu mati. Dan kemudian jasadnya
di asuh oleh Takau (Hantu yang menurut cerita orang banjar bisa berubah menjadi
berbagai macam bentuk dan kesaktiannya sangat tinggi). Anak sima mengincar
siapa saja yang terpikat ketika mendengar tangisannya. Konon jika korbannya
perempuan, ia akan memakan payudaranya hingga ke jantung. Dan jika korbannya
laki-laki maka anak sima akan menghisap tubuhnnya melalui kemaluan sampai
tubuhnnya kering dan tak bernyawa lagi. Bagi orang yang tahu, ketika mendengar
jeritan anak sima yang berusaha memikat, maka akan berkata. ”Aku lain uma ikam,
uma ikam dikampung anu”(Aku bukan ibumu, ibumu dikampung anu). Maka anak sima
akan pergi ke tempat yang disebutkan.
Waktu sudah menunjukan pukul
setengah 6 sore, aku duduk diteras menikmati temaram menari memamerkan
keindahannya yang berwarna merah gelap bercampur kuning keemasan, dan keheningan
khas suasana kampung ini begitu mendamaikan hati.
Suara lantunan ayat-ayat suci mulai terdengar dari Mesjid, tanda Maghrib
segera menjelang.
“Mel..!” Suara ibu terdengar dari dalam.
“Pun” sahutku. (Pun adalah sahutan sopan kepada orang yang lebih tua).
“Kada baik duduk diluar parak sanja” (Tidak baik duduk diluar, sudah hampir
senja).
“Kenapa Gerang?” (Emangnnya kenapa). Aku sediki menyolot.
“Jar urang tu, kada baik, kada baik ai. Lakasi naik ka rumah.”(Kata mama
nggak baik, ya nggak baik, cepat masuk kerumah). Suara ibu terdengar sedikit kesal.
Tak ingin membuat ibu marah aku segera menuruti perintahnnya.
“Kada malihat kah ikam sanja kuning, hantu,iblis, parang maya kaluaran
tahulah...!”
(Kamu nggak liat ya, senja kuning, hantu, iblis, teluh berkeliaran tau
nggak). Ibuku melanjutkan omelannya.
Aku hanya diam mendengarkan. Ibu memang kolot. Namun aku yang mengenyam
pendidikan hingga kuliah pun juga, masih tetap percaya pada hal berbau mistis.
“ Allahu akbar... Allahu akbar…”
Suara adzan mulai berkumandang, aku segera mengambil wudhu dan melaksanakan
kewajibanku sebagai seorang muslim.
Sehabis menunaikan sholat
maghrib, aku duduk diruang tamu bersama ibu disampingku. Terlintas di pikiran
ku tentang cerita Anak sima yang disebutkan ibu tadi siang.
”Ma, pian bisalah mandangar kisah urang di anu Anak sima”? (Bu, pernah
dengar nggak cerita tentang orang yang jadi korban anak sima).
“bisa ai, bahari pas mama lagi halus, nini mangisahakan.” (Pernah, waktu
mama masih kecil dulu nenek yang cerita).
“Kisahakan pang ma!?” (Certain dong ma).
Ibu pun mulai bercerita, ”Pas
mama lagi halus bahari, ada urang jar pas mancari kayu kahutan. Limbah tu
mandangar suara kakanakan bayi manangis. Dicarii sidin ai jar suara tu tih,
tadapat jar kakanak tu ti dibawah puhun, palihatnnya liwar langkar jar bayi nya
tuh.” ‘Kurrr... Sumangat, anakku’ jarnya. Diambilinyaai jar anak tu lalu di
intangnnya. Pas dijalan handak dibawanya bulik jar, napa dada sidin rasa padih
banar. Sakali dilihati, tunggal dikitan anak simanya mamakani susu urang tu, kada
kawa malapas lagi urangnya jar. Sampai habis dimakannya ka jantung-jantung.”
(Waktu dulu mama masih kecil, ada cerita orang yang lagi nyari kayu bakar
dihutan terus dia dengar ada suara bayi sedang menangis. Orang itu mencari cari
suara itu sampai ketemu, anak itu ada dibawah pohon, dilihatnya anak itu sangat
cantik.” ‘Kurrr Sumangat...’ (Merupakan seruan untuk mengembalikan semangat
atau menghentikan tangis anak). ‘Anakku...’ Katanya. Dipungutnya bayi itu lalu
digendongnya, pas diperjalanan hendak membawa pulang, kenapa orang itu merasa
dadanya sangat perih. Setelah dilihatnya ternyata sedikit demi sedikit anak
sima itu memakan payudaranya. Orang itu tak bisa lagi melepaskan anak itu. Sampai
anak itu memakan jantungnya).
Aku sedikit merinding mendengar cerita ibu.
“Sudahah, kada bulih talalu dikisahakan, kaina saurang bisa didapatinya” (Sudah
ahh,tidak boleh terlalu diceritakan, nanti kita bisa ditemuinya). Kata ibu, aku
terdiam masih membayangkan cerita itu.
Ba’da isya aku merebahkan kan
tubuhku dikamar,alunan musik terdengar dari headset yang terpasang ditelingaku,
aku melirik sisi kiri atas ponselku. Tak terasa waktu menunjukan pukul
sepuluh malam, suasana mulai hening, suara adik dan ibuku tak terdengar lagi
mungkin mereka sudah tidur dikamar masing-masing.
“Mel...” Suara ibu mengagetkanku.
“Pun...”
“Jangan kada ingat lah, guring bakalambu” (Jangan lupa, tidur pakai
kelambu).
“Inggih.” (Iya). Walaupun mengiyakan aku tak menuruti apa kata ibu ku, karena
memakai kelambu itu gerah. Menurutku. Namun kata ibu dulu pernah bercerita, kata
orang jaman dulu kelambu bukan hanya sebagai anti nyamuk, tapi juga sebagai
penangkal jin jahat dan segala macam jenis teluh.
Karena keasyikan mendengarkan lagu, aku sampai lupa membaca doa sebelum
tidur, sampai aku terlelap.
Jam 1 lewat malam itu, aku terbangun
mataku tak mengantuk lagi. Aku mencari-cari ponselku disekitar tempat
tidur. Ku cek apakah ada sms atau tidak, ku otak-atik ponselku itu dari pesan
sampai iseng loading facebook. Tak lama kemudian aku dikagetkan oleh suara, terdengar
seperti kucing yang berkelahi. Jantungku berdegup kencang, mataku membelalak
mengawasi sekitar. Suara itu tak kunjung berhenti, suara anjing melolongpun
ikut meramaikan hutan dibelakang rumahku.
Rumahku memang terletak paling ujung dari rumah lain, dibelakang rumahku itu
tak ada lagi rumah selain hutan yang merupakan kebun karet dan semak belukar. Merinding
bulu kudukku mendengarkan suara-suara itu. Lama kelamaan suara yang terdengar
seperti kucing berkelahi itu semakin menjadi dan berubah jadi seperti
suara tangisan anak kecil yang semakin membuatku takut. Aku langsung teringat
cerita ibuku, namun rasa takut itu tak mampu mengalahkan rasa penasaranku. Aku
memberanikan diri keluar dari kamar dan menuju jendela dapur yang
mengarah ke hutan. Sambil gemetar aku membuka jendela, sontak suara itu
menghilang. Suara anjing yang tadinya sangat keras pun ikut menghilang. Hanya
gelap yang ku lihat diseluruh hutan, aku bergegas menutup jendela dan berniat
kembali ke kamar. Tetapi, suara itu kembali muncul dan kini dari depan rumah, rasa
panasaran kembali mengisi kepalaku.
Aku berjalan keluar pelan-pelan, sampai didepan pintu. Karena ada kaca aku
tak ingin membuka pintu dan aku pun takut kalau-kalau itu Anak sima seperti
yang diceritakan ibuku. Aku mengintip dari jendela, suara jerit tangisan anak
itu terdengar menyayat namun memikatku untuk mencarinya. Ku lihat sekeliling
depan rumah, dan ku temukan sosok itu berada dibawah pohon pisang. Seperti
bayi baru lahir dan memancarkan warna merah menyala ditubuhnya. Tidak, aku tak
akan terpikat olehmu kataku dalam hati. Aku ingin mengucapkan “Aku lain uma
ikam, uma ikam dikampung anu.” Untuk mengusir mahluk itu. Namun apa yang
terjadi, lidahku kelu tak bisa berkata apa-apa, tenggorokanku tercekat, nafasku
sesak. Sial, pikirku. Lebih sial lagi ayah tak ada dirumah, ia pergi ke Samarinda
beberapa hari untuk menjalankan usahanya. Aku berniat ingin kembali ke kamar
saja. Tapi sama saja, kaki ini kaku tak dapat melangkah. Aku ingin berteriak
memanggil ibu, namun aku tak kuasa melakukannya. Tanganku malah bergerak tak
terkendali memegang gagang pintu dan memutar kunci, aku ingin menangis dan
sekali lagi air mataku pun tak ada yang mau keluar. Ku lirik lagi sosok dibawah
pohon pisang itu, kini dapat ku lihat matanya dengan jelas, seperti membiusku
terlihat sangat menawan, tapi aku masih bisa menyadari itu adalah tipu dayanya.
Aku tak dapat berbuat apa-apa, keringatku bercucuran berusaha lari dari makhluk
itu, namun semakin aku mencoba, semakin sesak nafasku. Aku hampir tak dapat
bernafas lagi. Hati kecilku ini menjerit. ”Ya Allah, tolong lah hambamu ini, lindungi
lah aku dari setan yang terkutuk.” Ku rasakan sebuah tangan memegang pundakku.
Semakin kencang jantungku memacu lebih cepat, ku toleh kearah tangan itu,
ternyata ibu. Syukurlah kataku dalam hati lega. Ibu mengusap wajahku tak tau
mengapa. Seketika badanku terasa ringan, nafasku kembali.
“Jangan dibukai lawang!” (Jangan dibukakan pintu) kata ibuku. Ternyata iya
juga mendengar tangisan bayi setan itu.Aku menangguk.
“Lakasi kakamar gin, jangan kada ingat babacaan!!” (cepat ke kamar, jangan
lupa baca do’a) kata ibu berbisik.
Tanpa berkata apa-apa aku dengan
lemah menuju kamar, suara itu pun masih ada. Kudengar ibu berkata “Bajauh...! Disini
kadada uma kam, uma kam dikampung anu” (Pergi, disini tidak ada ibumu, ibumu
dikampung anu.) Lantas kembali kekamarnya. Suara itu pun semakin menjauh lalu
lenyap.
Bergegas aku memasang kelambu dan membaca do’a. Kututupi telinga ini dengan
bantal dan berusaha melupakan kejadian itu.
By. Melda L
Note : Foto diatas hanya sebagai hiasan dan pembangkit imajinasi saja. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar