Angin berhembus perlahan diiringi tarian
ranting pohon dipetang yang indah ini, matahari mulai menundukan wajahnya
dibalik awan dan bersiap menyambut malam. Udara dingin menyusup disela-sela
syal hangat yang kukenakan. Masih saja tak dapat kutepiskan bayangan suram yang
telah kulalui, masa yang telah merenggut sisa kebahagiaanku dan semuanya
berawal dari dua bulan yang lalu.
***
Aku
merupakan anak pertama dari dua bersaudara, adikku baru kelas dua sekolah
dasar. Ibu adalah seorang guru disekolah dasar dikampung sebelahnya kampungku.
Sedangkan ayah, ah, sepertinya aku tidak punya ayah, atau lebih tepatnya tidak
usah mempunyai ayah. Ya, aku begitu membencinya, laki-laki yang dipecat dari
jabatannya sebagai anggota polisi karena kerjanya yang setiap hari mabuk, main
judi dan main perempuan. Untunglah, sekarang iya bekerja dikota yang jauh dari
kampung ini. Setidaknya aku dan ibu tidak terkena amukannya jika ia pulang
sehabis mabuk-mabukan dan kalah berjudi. Tapi tetap saja, jika sewaktu-waktu ia
pulang pasti hanya untuk meminta uang kepada ibu, lalu kemana gaji hasil
kerjanya dikota? Tentu saja habis
dipakai untuk modal pemainan haram itu dan untuk wanita-wanita yang
dikencaninya.
Dulu
keadaan jauh dari seperti ini, ketika aku masih kecil, ayah masih berkelakuan
baik, keluarga kami sangat hangat.
Masih ku ingat jelas
ketika ayah dan ibu menuntunku berjalan mengelilingi pekan raya, ibu terlihat
sangat cantik dengan baju merah jambunya, ayah juga nampak tampan dengan kaos
berwarna abu-abu kala itu. Disana sangat ramai, kami mamainkan segenap
permainan yang ada dan membeli gulali harum manis kesukaanku. Aku mendapatkan
boneka Dinosaurus sebagai hadiah dari permainan lempar gelang yang aku
menangkan bersama ayah. Tidak ada sa’at yang lebih bahagia dibandingkan waktu
itu.
Tapi itu dulu, sekarang semuanya hancur
sudah, boneka itu pun sudah habis ku
bakar ketika kabencianku memuncak mengingat hari dimana ibu membawaku kesebuah
rumah diantara rumah-rumah yang lain disebuah perkampungan yang tak jauh dari
kampungku, ibu berjalan sangat cepat sambil menuntunku yang tergopoh-gopoh
mengikutinya, kaki kecilku kalah cepat dengan langkah ibu, kulihat raut
wajahnya seperti menahan sesuatu, boneka dinosaurus kesayanganku kupegang erat
dilengan kananku. Begitu sampai didepan pintu, ibu langsung menggedornya begitu
keras tanpa mengeluarkan kalimat apa-apa. Aku bingung apa yang sedang terjadi.
Tak lama, keluarlah seorang lelaki yang hanya menggunakan sarung sebagai
penutup badannya dangan wajah kaget. Ya, itu ayah, aku heran kenapa ayah berada
disini, aku segera melangkah kearahn ayah namun ibu menarik tanganku. Ibu
seketika mengeluarkan air mata, air mata yang ditahannya sedari tadi.
“ Siapa diluar sayang?
“ suara wanita terdengar dari dalam. Ayah diam, ibu masih memandanginya lekat
dengan wajah bersimbah air mata.
“ Mamu apa kau kesini
Mina? “ tanya ayah.
“ Dasar bajingan, aku
sudah muak dengan kelakuanmu ini, perempuan mana lagi yang kau tiduri kali ini?
Hei pelacur keluar kau “ kata ibu dengan garang, tak terbiasa aku melihat ibu
berbicara seperti itu. Ayah, tak bergeming. Aku ingin ikut menangis
melihat ibu.
“ Lebih baik kau pergi
dari sini Mina “ kata ayah tanpa wajah rasa bersalah. Tangis ibu selakin
menjadi, aku pun ikut menangis.
“ Aku tak mau selamanya
seperti ini, ceraikan saja aku mas !!”, kata ibu. ” Pllakkkkk.... “, tibs-tiba
ayah menampar wajah ibu, membuatku terkejut melihatnya.
“ Pulang kalian
sekarang juga “, seru ayah. Ibu menarik tanganku meninggalkan tempat itu tanpa
kata-kata. “ Ayaaahh.. “ panggilku pada ayah, namun kulihat ayah hanya
memandangi kami, dan nampak seorang perempuan yang baru saja keluar dari rumah
itu. Ibu hanya menangis sepanjang jalan.
***
Sejak itu, keluarga kami menjadi
berantakan, setiap hari ada saja pertengkaran antara ayah dan ibu, sudah
beberapa kali ibu meminta diceraikan, namun ayah selalu akan mengancam akan
membunuh ibu jika ia berani menggugat cerai atau pulang kerumah nenek. Sejak
itu pula ayah mulai terang-terangan menunjukan sifat aslinya yang bejat itu.
Tamparan demi tamparan yang diterima ibu tak terhitung lagi setiapk kali mereka
bertengkar. Jadilah aku merasa seperti dineraka dirumahku sendiri.
Hingga aku duduk dibangku SMP, aku
bertemu dengan Nina, ia begitu baik padaku dibanding teman-teman yang lain,
kami sering jalan-jalan kekota ketika pulang sekolah, aku bebas kemana saja
karena tak ada orang rumah yang memperhatikanku, ayah sudah jelas ia tak pernah
mengurusiku lagi, sedangkan ibu sibuk mengajar disekolah dan mencari usaha
sampingan untuk uang tambahan biaya hidup kami. Namun walaupun Nina sangat baik
padaku, sejujurnya ada beberapa hal yang aku tak sukai darinya, ia sering gonta
ganti pacar, bahkan suatu ketika aku melihatnya Berciuman dihadapanku dan
teman-teman pacarnya ketika kami merayakan ulang tahun pacarnya yang juga masih
SMP itu. Aku menanyakan kenapa ia mau melakukan hal itu dan didepan teman-teman
pacarnya. Dengan santai ia menjawab “ Ya ampuun, Tia, ciuman itu biasa kali,
Baru ciuman doang heran banget, sekarang ML anak seumuran kita juga udah biasa,
polos banget sih kamu..!! “
“ Tapi kan Nin, apa
kamu nggak malu..? “
“ Ngapain harus malu,
makanya, loe coba pacaran dong, ntar aku cariin deh..! “ ia menawariku. Aku
menggeleng.
“ Nggak ah, aku belum
mau pacaran dulu “ tolakku. Aku menarik nafas dalam, apakah benar yang
dikatakan Nina kalau “Ciuman dan ML itu udah biasa dikalangan remaja SMP
seperti kami..? “, entahlah, aku yakin itu adalah kesalahan besar yang dianggap
wajar oleh anak muda jaman sekarang, tapi apa boleh buat, hanya Nina yang bisa
mengerti keadaanku, ketika aku kalut dengan segala masalahku dirumah, ia pasti
mengajakku jalan-jalan untuk mengusir rasa suntukku.
Hari itu cuaca begitu cerah, aku duduk
sendirian didepan kelas, Nina menghampiriku.
“ jalan yuk, bosen
nih..! “ kata Nina.
“ Mau jalan kemana?
Kita kan belum waktunya pulang “ jawabku datar.
“ Kita bolos aja,
mumpung lagi sepi, kita ketempat temenku! “
“ Dimana? “ tanyaku
lagi.
“ yah, elah,, banyakan
nanya, ayo cepetan! “, aku berpikir sejenak, daripada bengong disini lebih baik
aku ikut sajalah dengan Nina.
Kami menuju tempat temannya Nina, tak jauh
dari sekolah kami.
“ Bang Aldo..!! “ panggil Nina sesampainya kami
disana, kemudian keluar seorang lelaki yang nampaknya beberapa tahun lebih tua
dari kami, kira-kira sekitar dua puluh tahunan. Penampilannya begitu lusuh,
rambutnya acak-acakan entah karena kurang perawatan atau disengaja dipotong
seperti itu, celananya pun robek-robekan seperti berandalan. Kami diajak masuk
kedalam.
“ Siapa ini Nin ? “
tanya Aldo seraya memandangku.
“ Oh, Kenalin bang, ini
temenku namanya Tia! “ kata Nina.
“ Aldo!! “ ujarnya
sambil mengulurkan tangan. Aku pun menyambutnya. “ Nina “ balasku.
“ Ngomong – ngomong ada
apa kaliann kesini ? “ kata Aldo.
“ Nggak ada apa – apa
sih bang, Cuma males aja disekolah, mending bolos kesini! “ jawab Nina. “ Oh ya
bang, malem ini kan malam minggu, ada acara nggak, ? kalo ada, kita ikut dong..!
“
“ Yahh, paling juga ke
club malam. ”
“ Wahhh, asik dong,
kita boleh ikut ya, ? Pliiisss !! “ Nina tampak antusias mendengar club malam,
tapi kita ini kan masih kecil, mana boleh kesana. Pikirku.
“ Boleh aja sih, ntar
malem kalo mau dateng aja kesini, kita berangkat bareng pake mobil temen gue. “
“Siipp,, Nin, malam ini
gue jemput kerumah, loe udah siap yah “ kata Nina.
“ Hhahh, enggghhh...
Kayaknya aku nggak bisa deh Nin, aku takut ketahuan sama ibu ketempat begituan,
lagipula kan kita masih kecil, nggak boleh masuk kesana!! “
‘Hahahaha ‘ Nina dan
Aldo tertawa bersama mendengar perkataanku.
“ Ya ammpunn Tia, pliss
deh.. nggak bakalan ketahuan lah, emang ibu loe pernah kesana, ? nggak kan.
Ayoo lahh, sekali ini aja deh. “
“ Oke lahh, cuman sekali
ini aja ya! “
“ Oke sayang “ Nina
tampak kesenangan sekali. Aku penasaran juga, gimana rasanya masuk kesana,
sekali- sekali nggak papa lah, pikirku.
Malam sudah menutup cahaya dilangit,
bintang tak ada satupun yang menampakkan diri. Kami tiba didepat tempat yang
kami tuju, club malam. Aku membayangkan seperti apa didalam tempat ini, apa kah
sama seperti di televisi yang biasa kulihat...?
Aku menatap seluruh
sudut ruangan, tenyata keadaannya memang sama seperti yang kubayangkan, nampak
kacau. Suara musik yang kurasa dapat memecahkan gendang telinga, lampu – lampu
kedap - kedip yang membuat pusing, dan terlihat wnita- wanita berpakaian seksi
dipajang didalam ruang kaca yang entah apa namanya. Tapi... Ditempat ini,
rasanya semua masalah hidup ini hilang dari pikiranku. Rasanya, aku mulai
menyukai tempat ini.
“ Ayo Tia, kita kesana
!” ujar Nina seraya menarik tanganku. Aku mengikutinya. Kulihat Bang Aldo
bersama temanya dipojok ruangan. Ia tersenyum memandangi kami, snyum yang aneh.
Seperti menginginkan sesuatu.
“ Nina, Tia, mau minum
nggak ? “ Tawar Bang Aldo.
“ Mau – mau bang, “
jawab nina antusias, Aku hanya diam.
“ Tia, mau minum apa “
Kata bang Aldo. “ Apa aja!! “ jawabku.
Tak lama bang Aldo
membawakan dua gelas minuman, Aku dan Nina langsung meneguknya tanpa ragu.
Pahit, hanya itu yang kurasakan begitu minuman itu mengalir ditenggorokanku,
rasanya minuman ini melilit ditenggorokan.‘ Hoeekk,, hoeekk.... ‘ berusaha mengeluarkannya, tapi, minuman itu
sudah terlanjur habis tertelan.
“ Minuman apa ini, kok
rasanya aneh, tenggorokanku sakit “ kataku. Kulihat Nina tampak santai –santai
saja.
“ Kalau baru pertama
emang gitu rasanya, api kalo udah biasa, enak kok !! “ Kata bang Aldo, sambil
tersenyum santai.
“ Iyaa, Aku pertama
ngerasain juga nggak enak, tapi pas udah kebiasa, jadi ketagihan, hihi “ sahut
Nina cekikikan. Aku mencoba menelannya lagi, Sepertinya tegukan kedua ini lebih
mudah. Kucoba beberapa kali, rasanya lumayan.
“ Gimana, enakkan, ?
mau lagi? “ Bang Aldo menawarkan. “ Boleh “ Jawabku.
Minuman itu mulai membuatku pusing setelah
kuteguk beberapa gelas, tapi rasa pusing ini lah yang membuatku melupakan
segalanya. Sakit hati dan rasa benciku pada ayah, rasanya sudah lenyap berganti
kebahagiaan. Suasana disini rasaya menyenangkan. Kami baru beranjak pulang
tepat jam dua dini hari. Aku berjalan menuju keluar dengan langkah sempoyongan,
sesekali Bang Aldo memegangiku agar tek terjerembab kelantai. Ah, malam yang
begitu menyenangkan.
Setelah malam itu
berlalu, malam – malam berikutnya aku mulai merasa merindukan tempat itu, rindu
dengan minuman yang membuatku lupa segala masalah, rindu suasananya yang meriah,
Ahh, memang benar kata Nina ‘ Tempat itu menyenangkan’. Mulai saat itu, aku
semakin sering kesana, tentu saja dengan Nina, Aku mulai mencoba menelan obat –
obatan yang rasanya lebih membuatku melayang, darimana lagi aku mendapat itu
selain dari bang Aldo. Bagiku saat itu ia sangat baik, karena mulai dari biaya
masuk, minum, dan obat itu katanya mahal, tapi bang Aldo memberi pada kami
secara gratis. Aku tau sekarang, minuman yang sering kutelan adalah minuman
keras, dan obat –obatan itu terlarang. Tapi aku tak ambil pusing lagi dengan
semua itu, yang penting, ku bisa menghapus semua kekeruhan masalah hidupku
walaupun hanya sesaat. Kini aku tak bisa lagi lepas dari pengaruh obat –obatan
itu.
Sampai pada akhirnya disuatu malam, kami
sedang asyik diruangan yang diboking bang Aldo khusus untuk kami, dalam keadaan
setengah sadar aku duduk disamping Bang Aldo, ada yang aneh. Tangan bang Aldo
merangkul bahuku, aku tak bisa menolak, kepalaku sudah berat, tapi masih dapat
kurasakan jamhan tangan nakalnya. Ah, ini tak bisa dibiarkan. Aku tak ingin
diperlakukan macam –macam. Aku mulai berontak, tapi semakin aku mencoba
berontak, semakin kerasbang aldo memaksaku.
“ Apa – apaan sih Bang
! “ protesku.
“ Sudah kamu diam saja
“ ujarnya. Aku tetap berontak dan berdiri. Bang Aldo kembali menarik tanganku,
aku terduduk lagi. Aku berdiri lagi, meski kepala ini pusing dan berat akibat
minuman, aku mencoba menjauh, kulihat Nina tak ada ditempat duduknya tadi. Ah,
kemana anak itu. Aku menuju ke pintu keluar, Bang aldo mearik tubuhku lagi.
“ Hehh, loe jangan coba
– coba lari ya, gue udah bayar mahal sama temen loe!! “ Bentaknya.
“ Maksud abang, bayar
apa, dan teman siapa?? “ tanyaku heran.
“ Rupanya loe belum
tau, loe itu dijual sama temen loe Nina, dan gue udah bayar mahal sama dia.
Jadi loe haru layanin gue malam ini..!! “ Aku terkesiap mendengar kata dari
bang Aldo, nggak mungkin, nggak mungikin Nina tega menjualku.
“ Nggak, abang bohong..
Nina.. !! “ Teriakku. Tiba –tiba pintu didepanku terbuka, beberapa orang dengan
seragam polisi masuk dan mengatakan akan ada penggeledahan.
Besoknya, aku berada dikantor polisi,
dan mereka melakukan tes urin pada mereka yang
tertangkap basah membawa Narkoba, dan sialnya Bang Aldo membawa barang
haram itu. Hasil pemerikasaan kami positif, Bang Aldo langsung ditahan karena
terbukti menjadi pemakai sekaligus pengedar, dan aku akan dibawa kepanti
rehabilitasi karena masih dibawah umur. Kemana Nina.. ? Entah, ia berhasil
melarikan diri bersama teman bang Aldo. Ibu Shock mendengar kabar ini, tapi ia
tak memberi tahu ayah, ia taku ayah akan menghakimiku seenaknya begitu keluar
nanti.
Sekarang aku berada disini, di panti
rehabilitasi Narkoba. Aku merasa beruntung, tuhan masih menyayangiku, ia mengirimkanku
ketempat ini. Setidaknya, nasibku tak berakhir tragis seperti Nina, kabarnya ia
berusaha menggugurkan kandunganya yang ternyata sudah empat bulan seminggu
lalu. Dan akhirnya meregang nyawa ditempat dukun aborsi. Sungguh, aku bersyukur
karena belum terlambat untuk menyesal.
Selesai.
By. Melda L
Tidak ada komentar:
Posting Komentar