Rabu, 18 April 2012

Jalan berliku


      Angin berhembus perlahan diiringi tarian ranting pohon dipetang yang indah ini, matahari mulai menundukan wajahnya dibalik awan dan bersiap menyambut malam. Udara dingin menyusup disela-sela syal hangat yang kukenakan. Masih saja tak dapat kutepiskan bayangan suram yang telah kulalui, masa yang telah merenggut sisa kebahagiaanku dan semuanya berawal dari dua bulan yang lalu.
   ***
       Aku merupakan anak pertama dari dua bersaudara, adikku baru kelas dua sekolah dasar. Ibu adalah seorang guru disekolah dasar dikampung sebelahnya kampungku. Sedangkan ayah, ah, sepertinya aku tidak punya ayah, atau lebih tepatnya tidak usah mempunyai ayah. Ya, aku begitu membencinya, laki-laki yang dipecat dari jabatannya sebagai anggota polisi karena kerjanya yang setiap hari mabuk, main judi dan main perempuan. Untunglah, sekarang iya bekerja dikota yang jauh dari kampung ini. Setidaknya aku dan ibu tidak terkena amukannya jika ia pulang sehabis mabuk-mabukan dan kalah berjudi. Tapi tetap saja, jika sewaktu-waktu ia pulang pasti hanya untuk meminta uang kepada ibu, lalu kemana gaji hasil kerjanya dikota?  Tentu saja habis dipakai untuk modal pemainan haram itu dan untuk wanita-wanita yang dikencaninya.

       Dulu keadaan jauh dari seperti ini, ketika aku masih kecil, ayah masih berkelakuan baik, keluarga kami sangat hangat.


Masih ku ingat jelas ketika ayah dan ibu menuntunku berjalan mengelilingi pekan raya, ibu terlihat sangat cantik dengan baju merah jambunya, ayah juga nampak tampan dengan kaos berwarna abu-abu kala itu. Disana sangat ramai, kami mamainkan segenap permainan yang ada dan membeli gulali harum manis kesukaanku. Aku mendapatkan boneka Dinosaurus sebagai hadiah dari permainan lempar gelang yang aku menangkan bersama ayah. Tidak ada sa’at yang lebih bahagia dibandingkan waktu itu.

      Tapi itu dulu, sekarang semuanya hancur sudah,  boneka itu pun sudah habis ku bakar ketika kabencianku memuncak mengingat hari dimana ibu membawaku kesebuah rumah diantara rumah-rumah yang lain disebuah perkampungan yang tak jauh dari kampungku, ibu berjalan sangat cepat sambil menuntunku yang tergopoh-gopoh mengikutinya, kaki kecilku kalah cepat dengan langkah ibu, kulihat raut wajahnya seperti menahan sesuatu, boneka dinosaurus kesayanganku kupegang erat dilengan kananku. Begitu sampai didepan pintu, ibu langsung menggedornya begitu keras tanpa mengeluarkan kalimat apa-apa. Aku bingung apa yang sedang terjadi. Tak lama, keluarlah seorang lelaki yang hanya menggunakan sarung sebagai penutup badannya dangan wajah kaget. Ya, itu ayah, aku heran kenapa ayah berada disini, aku segera melangkah kearahn ayah namun ibu menarik tanganku. Ibu seketika mengeluarkan air mata, air mata yang ditahannya sedari tadi.

“ Siapa diluar sayang? “ suara wanita terdengar dari dalam. Ayah diam, ibu masih memandanginya lekat dengan wajah bersimbah air mata.

“ Mamu apa kau kesini Mina? “ tanya ayah.

“ Dasar bajingan, aku sudah muak dengan kelakuanmu ini, perempuan mana lagi yang kau tiduri kali ini? Hei pelacur keluar kau “ kata ibu dengan garang, tak terbiasa aku melihat ibu berbicara seperti itu. Ayah, tak bergeming. Aku ingin ikut menangis melihat  ibu.

“ Lebih baik kau pergi dari sini Mina “ kata ayah tanpa wajah rasa bersalah. Tangis ibu selakin menjadi, aku pun ikut menangis.

“ Aku tak mau selamanya seperti ini, ceraikan saja aku mas !!”, kata ibu. ” Pllakkkkk.... “, tibs-tiba ayah menampar wajah ibu, membuatku terkejut melihatnya.
“ Pulang kalian sekarang juga “, seru ayah. Ibu menarik tanganku meninggalkan tempat itu tanpa kata-kata. “ Ayaaahh.. “ panggilku pada ayah, namun kulihat ayah hanya memandangi kami, dan nampak seorang perempuan yang baru saja keluar dari rumah itu. Ibu hanya menangis sepanjang jalan.
***
     
     Sejak itu, keluarga kami menjadi berantakan, setiap hari ada saja pertengkaran antara ayah dan ibu, sudah beberapa kali ibu meminta diceraikan, namun ayah selalu akan mengancam akan membunuh ibu jika ia berani menggugat cerai atau pulang kerumah nenek. Sejak itu pula ayah mulai terang-terangan menunjukan sifat aslinya yang bejat itu. Tamparan demi tamparan yang diterima ibu tak terhitung lagi setiapk kali mereka bertengkar. Jadilah aku merasa seperti dineraka dirumahku sendiri.

     

       Hingga aku duduk dibangku SMP, aku bertemu dengan Nina, ia begitu baik padaku dibanding teman-teman yang lain, kami sering jalan-jalan kekota ketika pulang sekolah, aku bebas kemana saja karena tak ada orang rumah yang memperhatikanku, ayah sudah jelas ia tak pernah mengurusiku lagi, sedangkan ibu sibuk mengajar disekolah dan mencari usaha sampingan untuk uang tambahan biaya hidup kami. Namun walaupun Nina sangat baik padaku, sejujurnya ada beberapa hal yang aku tak sukai darinya, ia sering gonta ganti pacar, bahkan suatu ketika aku melihatnya Berciuman dihadapanku dan teman-teman pacarnya ketika kami merayakan ulang tahun pacarnya yang juga masih SMP itu. Aku menanyakan kenapa ia mau melakukan hal itu dan didepan teman-teman pacarnya. Dengan santai ia menjawab “ Ya ampuun, Tia, ciuman itu biasa kali, Baru ciuman doang heran banget, sekarang ML anak seumuran kita juga udah biasa, polos banget sih kamu..!! “
“ Tapi kan Nin, apa kamu nggak malu..? “

“ Ngapain harus malu, makanya, loe coba pacaran dong, ntar aku cariin deh..! “ ia menawariku. Aku menggeleng.

“ Nggak ah, aku belum mau pacaran dulu “ tolakku. Aku menarik nafas dalam, apakah benar yang dikatakan Nina kalau “Ciuman dan ML itu udah biasa dikalangan remaja SMP seperti kami..? “, entahlah, aku yakin itu adalah kesalahan besar yang dianggap wajar oleh anak muda jaman sekarang, tapi apa boleh buat, hanya Nina yang bisa mengerti keadaanku, ketika aku kalut dengan segala masalahku dirumah, ia pasti mengajakku jalan-jalan untuk mengusir rasa suntukku.

   Hari itu cuaca begitu cerah, aku duduk sendirian didepan kelas, Nina menghampiriku.

“ jalan yuk, bosen nih..! “ kata Nina.

“ Mau jalan kemana? Kita kan belum waktunya pulang “ jawabku datar.

“ Kita bolos aja, mumpung lagi sepi, kita ketempat temenku! “

“ Dimana? “ tanyaku lagi.

“ yah, elah,, banyakan nanya, ayo cepetan! “, aku berpikir sejenak, daripada bengong disini lebih baik aku ikut sajalah dengan Nina.

  Kami menuju tempat temannya Nina, tak jauh dari sekolah kami.
 Bang Aldo..!! “ panggil Nina sesampainya kami disana, kemudian keluar seorang lelaki yang nampaknya beberapa tahun lebih tua dari kami, kira-kira sekitar dua puluh tahunan. Penampilannya begitu lusuh, rambutnya acak-acakan entah karena kurang perawatan atau disengaja dipotong seperti itu, celananya pun robek-robekan seperti berandalan. Kami diajak masuk kedalam.

“ Siapa ini Nin ? “ tanya Aldo seraya memandangku.

“ Oh, Kenalin bang, ini temenku namanya Tia! “ kata Nina.

“ Aldo!! “ ujarnya sambil mengulurkan tangan. Aku pun menyambutnya. “ Nina “ balasku.

“ Ngomong – ngomong ada apa kaliann kesini ? “ kata Aldo.

“ Nggak ada apa – apa sih bang, Cuma males aja disekolah, mending bolos kesini! “ jawab Nina. “ Oh ya bang, malem ini kan malam minggu, ada acara nggak, ? kalo ada, kita ikut dong..! “

“ Yahh, paling juga ke club malam. ”

“ Wahhh, asik dong, kita boleh ikut ya, ? Pliiisss !! “ Nina tampak antusias mendengar club malam, tapi kita ini kan masih kecil, mana boleh kesana. Pikirku.

“ Boleh aja sih, ntar malem kalo mau dateng aja kesini, kita berangkat bareng pake mobil temen gue. “

“Siipp,, Nin, malam ini gue jemput kerumah, loe udah siap yah “ kata Nina.

“ Hhahh, enggghhh... Kayaknya aku nggak bisa deh Nin, aku takut ketahuan sama ibu ketempat begituan, lagipula kan kita masih kecil, nggak boleh masuk kesana!! “

‘Hahahaha ‘ Nina dan Aldo tertawa bersama mendengar perkataanku.

“ Ya ammpunn Tia, pliss deh.. nggak bakalan ketahuan lah, emang ibu loe pernah kesana, ? nggak kan. Ayoo lahh, sekali ini aja deh. “

“ Oke lahh, cuman sekali ini aja ya! “

“ Oke sayang “ Nina tampak kesenangan sekali. Aku penasaran juga, gimana rasanya masuk kesana, sekali- sekali nggak papa lah, pikirku.



      Malam sudah menutup cahaya dilangit, bintang tak ada satupun yang menampakkan diri. Kami tiba didepat tempat yang kami tuju, club malam. Aku membayangkan seperti apa didalam tempat ini, apa kah sama seperti di televisi yang biasa kulihat...?


Aku menatap seluruh sudut ruangan, tenyata keadaannya memang sama seperti yang kubayangkan, nampak kacau. Suara musik yang kurasa dapat memecahkan gendang telinga, lampu – lampu kedap - kedip yang membuat pusing, dan terlihat wnita- wanita berpakaian seksi dipajang didalam ruang kaca yang entah apa namanya. Tapi... Ditempat ini, rasanya semua masalah hidup ini hilang dari pikiranku. Rasanya, aku mulai menyukai tempat ini.


“ Ayo Tia, kita kesana !” ujar Nina seraya menarik tanganku. Aku mengikutinya. Kulihat Bang Aldo bersama temanya dipojok ruangan. Ia tersenyum memandangi kami, snyum yang aneh. Seperti menginginkan sesuatu.

“ Nina, Tia, mau minum nggak ? “ Tawar Bang Aldo.

“ Mau – mau bang, “ jawab nina antusias, Aku hanya diam.

“ Tia, mau minum apa “ Kata bang Aldo. “ Apa aja!! “ jawabku.

Tak lama bang Aldo membawakan dua gelas minuman, Aku dan Nina langsung meneguknya tanpa ragu. Pahit, hanya itu yang kurasakan begitu minuman itu mengalir ditenggorokanku, rasanya minuman ini melilit ditenggorokan.‘ Hoeekk,, hoeekk....  ‘ berusaha mengeluarkannya, tapi, minuman itu sudah terlanjur habis tertelan.

“ Minuman apa ini, kok rasanya aneh, tenggorokanku sakit “ kataku. Kulihat Nina tampak santai –santai saja.

“ Kalau baru pertama emang gitu rasanya, api kalo udah biasa, enak kok !! “ Kata bang Aldo, sambil tersenyum santai.

“ Iyaa, Aku pertama ngerasain juga nggak enak, tapi pas udah kebiasa, jadi ketagihan, hihi “ sahut Nina cekikikan. Aku mencoba menelannya lagi, Sepertinya tegukan kedua ini lebih mudah. Kucoba beberapa kali, rasanya lumayan.

“ Gimana, enakkan, ? mau lagi? “ Bang Aldo menawarkan. “ Boleh “ Jawabku.

     Minuman itu mulai membuatku pusing setelah kuteguk beberapa gelas, tapi rasa pusing ini lah yang membuatku melupakan segalanya. Sakit hati dan rasa benciku pada ayah, rasanya sudah lenyap berganti kebahagiaan. Suasana disini rasaya menyenangkan. Kami baru beranjak pulang tepat jam dua dini hari. Aku berjalan menuju keluar dengan langkah sempoyongan, sesekali Bang Aldo memegangiku agar tek terjerembab kelantai. Ah, malam yang begitu menyenangkan.

Setelah malam itu berlalu, malam – malam berikutnya aku mulai merasa merindukan tempat itu, rindu dengan minuman yang membuatku lupa segala masalah, rindu suasananya yang meriah, Ahh, memang benar kata Nina ‘ Tempat itu menyenangkan’. Mulai saat itu, aku semakin sering kesana, tentu saja dengan Nina, Aku mulai mencoba menelan obat – obatan yang rasanya lebih membuatku melayang, darimana lagi aku mendapat itu selain dari bang Aldo. Bagiku saat itu ia sangat baik, karena mulai dari biaya masuk, minum, dan obat itu katanya mahal, tapi bang Aldo memberi pada kami secara gratis. Aku tau sekarang, minuman yang sering kutelan adalah minuman keras, dan obat –obatan itu terlarang. Tapi aku tak ambil pusing lagi dengan semua itu, yang penting, ku bisa menghapus semua kekeruhan masalah hidupku walaupun hanya sesaat. Kini aku tak bisa lagi lepas dari pengaruh obat –obatan itu.

   Sampai pada akhirnya disuatu malam, kami sedang asyik diruangan yang diboking bang Aldo khusus untuk kami, dalam keadaan setengah sadar aku duduk disamping Bang Aldo, ada yang aneh. Tangan bang Aldo merangkul bahuku, aku tak bisa menolak, kepalaku sudah berat, tapi masih dapat kurasakan jamhan tangan nakalnya. Ah, ini tak bisa dibiarkan. Aku tak ingin diperlakukan macam –macam. Aku mulai berontak, tapi semakin aku mencoba berontak, semakin kerasbang aldo memaksaku.

“ Apa – apaan sih Bang ! “ protesku.

“ Sudah kamu diam saja “ ujarnya. Aku tetap berontak dan berdiri. Bang Aldo kembali menarik tanganku, aku terduduk lagi. Aku berdiri lagi, meski kepala ini pusing dan berat akibat minuman, aku mencoba menjauh, kulihat Nina tak ada ditempat duduknya tadi. Ah, kemana anak itu. Aku menuju ke pintu keluar, Bang aldo mearik tubuhku lagi.

“ Hehh, loe jangan coba – coba lari ya, gue udah bayar mahal sama temen loe!! “ Bentaknya.

“ Maksud abang, bayar apa, dan teman siapa?? “ tanyaku heran.

“ Rupanya loe belum tau, loe itu dijual sama temen loe Nina, dan gue udah bayar mahal sama dia. Jadi loe haru layanin gue malam ini..!! “ Aku terkesiap mendengar kata dari bang Aldo, nggak mungkin, nggak mungikin Nina tega menjualku.

“ Nggak, abang bohong.. Nina.. !! “ Teriakku. Tiba –tiba pintu didepanku terbuka, beberapa orang dengan seragam polisi masuk dan mengatakan akan ada penggeledahan.



         Besoknya, aku berada dikantor polisi, dan mereka melakukan tes urin pada mereka yang  tertangkap basah membawa Narkoba, dan sialnya Bang Aldo membawa barang haram itu. Hasil pemerikasaan kami positif, Bang Aldo langsung ditahan karena terbukti menjadi pemakai sekaligus pengedar, dan aku akan dibawa kepanti rehabilitasi karena masih dibawah umur. Kemana Nina.. ? Entah, ia berhasil melarikan diri bersama teman bang Aldo. Ibu Shock mendengar kabar ini, tapi ia tak memberi tahu ayah, ia taku ayah akan menghakimiku seenaknya begitu keluar nanti.


           Sekarang aku berada disini, di panti rehabilitasi Narkoba. Aku merasa beruntung, tuhan masih menyayangiku, ia mengirimkanku ketempat ini. Setidaknya, nasibku tak berakhir tragis seperti Nina, kabarnya ia berusaha menggugurkan kandunganya yang ternyata sudah empat bulan seminggu lalu. Dan akhirnya meregang nyawa ditempat dukun aborsi. Sungguh, aku bersyukur karena belum terlambat untuk menyesal.

Selesai.

By. Melda L

Tidak ada komentar:

Posting Komentar