Selasa, 28 Agustus 2012

Dua Tupai


Hampir setiap sore selama libur bulan puasa ini aku duduk dipelataran belakang rumah, menikmati angin sejuk yang menerjang pepohonan rimbun yang menaungi ruang kosong. Halaman belakang ini sebenarnya lebih cocok disebut hutan, beberapa pohon karet yang tumbuh tidak rapi dan serumpun pohon bambu yang begitu rimbun. Dari pelataran ini, aku dapat melihat sumber air yang mengalir dibatu-batu yang tempatnya beberapa meter dari rumahku. Beberapa keluarga termasuk kami memanfaatkannya sebagai sumber air untuk dialirkan kerumah masing-masing. Indah sekali pemandangan dibelakang sini, sinar matahari sore akan tampak berkilau seperti emas didedaunan bambu dan karet. Tepat didepan pelatarku berdiri sebatang pohon nangka dan durian dan ramania.


Aku duduk sambil menyandarkan kepalaku ditembok, melamun memikirkan liburan yang segera berakhir, beberapa hari lagi aku harus kembali kekota. kuliah lagi. Sangat tidak bersemangat rasanya untuk meninggalkan kampung dan rumahku yang tenang ini.
Ditemani si Eneng, kucing kampung milikku yang juga setiap sore melamun bersamaku dipelataran belakang rumah. Aku menghela nafas saat angin kembali berhembus kencang, membuat irama dari dedaunan. Beberapa binatang berkeliaran, mulai dari burung, tupai, kadal, bunglon bahkan ular.


Seringkali kulihat dua ekor tupai berloncat-loncatan dipohon-pohon menuju pohon nangka didepanku. Mereka bergantian mengigiti buah nangka yang sudah setengah bolong itu, tampak begitu bersemangat. Mereka selalu terlihat berdua, mungkinkah suami-istri? Entahlah... Nampaknya mereka selalu bersama kesana kemari. Salah satu dari mereka melihat kearahku, awalnya tupai-tupai itu takut jika melihatku, aku bergerak sedikit saja mereka sudah pasang langkah seribu. Sekarang mungkin karena mulai terbiasa atau wajahku sudah mereka kenali, mereka dengan asyiknya bergantian menggigiti buah nangka yang cukup besar tanpa mengiraukanku. Si Eneng tampak begitu memperhatikan tupai-tupai itu dengan seksama. Mengintai lebih tepatnya. Aku tau tujuannya bukan untuk dijadikan makanan, seringkali Eneng membawa hasil buruannya kerumah hanya untuk memainkan ekor si mangsa. Kucing aneh. Apalagi mangsanya kalau bukan tikus, kadal, cicak dan sebagainya. Ia tidak pernah mau memakan binatang lain.


Tupai-tupai itu bergerak cepat menuju kebawah melewati tanah lalu kembali naik kepohon lainnya. Eneng mulai geram, dia sudah memasang kuda-kuda untuk menyerang. Sayangnya kalah cepat. Rupanya tupai-tupai itu bermaksud mengajak bermain-main atau mungkin menantang si Eneng, mereka kembali turun ketanah dan kembali kepohon nangka. Secepat kilat, Eneng sudah berlari dan berada dibawah pohon menunggu tantangan berikutnya dari si tupai. Aku memangil Eneng agar tak usah menghiraukan mereka. Tapi nampaknya ia enggan melepaskan mangsa ini, aku pun hanya bisa jadi penonton.


Kali ini, tupai-tupai itu nampaknya sudah bosan hidup, mungkin karena merasa lebih cepat dan pandai melompat mereka turun lagi.
'Grassshhh...' suara dedaunan tersingkir diantara pertarungan Eneng dengan salah satu tupai itu. Ya... Salah satu dari mereka berhasil diterkam Eneng. Ironis memang.
'Criiittt....ciittt..' tupai itu berteriak memilukan hati, tapi malang sudah menghampiri. Mereka terlalu dekat menantang maut. Dalam hitungan detik sang tupai menghembuskan nafas terakhir saat taring tajam Eneng menancap dilehernya, usai sudah petualangannya.


Tapi, ada kejadian yang membuatku tercengang. Si tupai yang satunya ternyata masih menunggu diatas pohon durian yang tinggi menjulang. Memanggil-manggil pasangannya yang sudah tiada, dengan suara yang terdengar menyayat. Disini aku tak bisa menuliskan contoh bunyinya, sangat sulit diuraikan dengan kata-kata. Jika saja aku tau bahasa binatang, mungkin begitu sedih akhir drama ini. Si Eneng kelihatan bersemangat memainkan ekor tupai yang sudah mati itu, aku mencoba menghampirinya. Ah... Sial, ia malah membawa tupai itu kerumahku. Aku berlari mengejarnya. Sekitar sepuluh menit kemudian kulihat tupai yang lolos itu masih menunggu dan memanggil-manggil pasangannya tadi, aku terkesima, nampaknya ia sedih sekali. Aku heran tupai itu masih menunggu dengan setianya hingga selang setengah jam.


Beberapa hari ini, aku tak melihat lagi tupai yang lolos itu kembali. Entah kemana rimbanya. Disini aku berpikir, kata orang binatang paling setia itu adalah anjing, kurasa tupai itu juga pantas mendapat gelar setia. Hmmm... Oleh karena itu, kita manusia juga harus setia entah itu pada pasangan, sahabat atau siapapun yang menyayangi kita. Juga jangan menyerah seperti Eneng, meskipun saingannya lebih cepat dan tinggi. Dengan keuletan dan kegigihannya. Akhirnya dapat meraih hasil yang diinginkan. Juga, selemah apapun lawanmu, jangan pernah meremehkannya. Semoga dapat diambil pelajaran baiknya dan singkirkan yang buruknya. Sekian. :)

Melda, 24 aug 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar