Malam
semakin larut bersama detik waktu yang tak pernah mau berhenti walaupun hanya
sekejap mata, udara mulai dingin seiring dentangan jam dinding tua peninggalan
almarhum kakek yang terus bertambah, kali ini ia berdentang dua kali,
menandakan waktu telah beranjak ke pukul dua dini hari. Mata ini masih saja
enggan terpejam, walau sudah beberapa kali kupaksakan.
Sudah dua hari aku menginap dirumah nenek
dikampung, dua hari pula aku tak bisa tidur nyenyak, bukan karena insomnia yang
selama ini ku pelihara, tapi, suara- suara aneh yang berasal tak jauh dari
belakang rumah ini. Tak ada perkampungan lain disana, melainkan hanya hutan
lebat yang gelap. Disana sangat gelap meski disiang hari, mungkin karena daun
dan ranting pepohonan yang begitu lebat.
Dulu waktu masih kecil aku pernah memasuki
hutan itu, ketika itu umurku masih sebelas tahun. tentu saja aku tak sendiri,
ada temanku Imron yang tidak lain berasal dari kampung itu juga. Aku memaksanya
untuk menemaniku melihat air tejun yang katanya ada disebelah hutan itu,
padahal ia sangat enggan kesana, kata ibunya disana ada “ Nini susu” atau yang
sering disebut orang Wewe gombel, Imron mengatakan kalau ibunya melarangnya
kesana karena pernah ada anak penduduk yang yang katanya hilang setelah bermain
disana, dan mereka mempercayai bahwa anak itu hilang diculik sang Nini susu.
Namun cerita masyarakat itu tidak menyurutkan niatku, karena aku bukan gadis
kecil yang penakut.
Setelah kami berjalan cukup jauh, maka nampaklah pemandangan yang begitu menakjubkan, air terjun yang sangat tinggi, percikan airnya merambat hingga beberapa meter. Batu-batu besar yang menghadang tepat dibawah terjangan air itu menghasilkan bunyi yang begitu berisik memekakan telinga. Aku hendak mendekat kesana, namun Imrom melarang dengan alasan takut terjatuh lalu terbawa derasnya air. Aku menurut saja, karena aku juga sudah berjanji hanya ingin melihat air terjun itu saja.
Ketika kami
hendak beranjak kembali, langkahku terhenti setelah melihat seseorang yang
berpakaian serba hitam berjalan disela-sela pepohonan.
“ Tunggu..!! “ kataku dengan nada berbisik, Imron ikut menghentikan langkah kakinya. Aku menunjuk orang itu. Mataku mengikuti arah yang ditujunya. Ia menuju air terjun, tangannya nampak membawa sesuatu yang nempak seperti sesajen. Diletakannya sesajen itu diatas babatuan tak jauh dari bawah air yang jatuh seraya mulutnya komat kamit entah apa yang diucapkannya, kami merunduk mengintip disela semak.
‘’Siapa orang itu?” tanyaku pada Imron.
“ Itu Patua Dir ” jawabnya dengan mata yang masih
menyelidiki lelaki paruh baya itu.
“ Sedang apa dia disana? “ Lanjutku.
“ Entahlah, aku juga tidak tahu, dia itu oarang yang
ditakuti dikampung ini, ayo cepat kita pergi, nanti ketahuan! “
“ Tapi apa yang dilakukannya disana ? “ kataku lagi.
“ sudahlah, itu bukan urusan kita, ayo cepat! “
Desak Imron.
Aku
berbalik mengikuti Imron,aku masih penasaran dan kembali memalingkan kepalaku.
Tapi, tak kudapati sosok Patu Dir disana. Tiba-tiba kakiku meninjak ranting
kayu kering. “Prraaakk ......“, suara patahannya mengagetkanku. Aku terperanjat
dan terjatuh menimpa Imron, ia pun ikut terjatuh. Aku berusaha bangkit namun
tertahan ketika kulihat sepasang kaki orang dewasa dihadapanku.
“ Papp Papp Patua Dir !! “ kata Imron terbata. Aku
mengelus kakiku yang lecet. Kulihat wajahnya begitu menyeramkan, sepasang mata
yang pinggirannya nampak hitam itu melotot, cukup untuk membuat anak kecil
seumuranku ketakutan, namun tidak untukku. Aku hanya khawatir oarang ini akan
mengadukan Imron pada ibunya.
“ Sedang apa kalian disini?? “ katnanya garang.
Suaranya terdengar besar dan parau.
“ Titt Tiddakk patua, kami hanya bermain “ jawab
Imron.
“ Kalian sebaiknya cepat pulang, jangan pernah
kembali kesini lagi !! “
“ Memangnya kenapa pak ? “ tanyaku.
“ Beraninya kau bertanya seperti itu, !! kau pasti
belum tau siapa aku! “ Serunya dengan nada tinggi.
“ Sudahkah Lena, ayo kita cepat pergi! “ kata Imron
seraya menarik tanganku.
***
Sejak
saat itu, aku tak pernah lagi kesana, tepatnya aku tak pernah lagi kekampung
nenek selama tujuh tahun, karena nenek dan kakek sudah tak ada lagi, kini hanya
kakak mama yang paling tua yang menempati rumah itu.
Aaah, sudah
pukul setengah tiga, mata ini tak mau toleransi padaku. Suara- suara yang
berasal dari hutan belakang itu terus mengganggu. Kadang terdengar seperti
raungan, tangisan yang nyaring, jeritan
yang memekik, serta teriakan-teriakan orang yang tak jelas apa yang
diucapkanya. Aku jadi sangat penasaran dengan suara itu, besok aku aan menemui
Imron, apakah ia juga sering mendengarnya, rumahnya kan juga tidak jauh dari
hutan ini.
***
Esok
harinya aku mendatangi rumah Imron. Sudah lama aku tak melihatnya. Kira-kira
seperti apa dia sekarang.
“ Assalamualaikum.. “ ucapku didepan rumah Imron.
“Wa’alaikum salam..” sahut seseorang dari dalam.
Lalu keluar seorang wanita yang tak lain adalah Ibunya Imron.
“ Imronya ada Bu? “ tanyaku tanpa basa-basi.
“ Oh, ada, pasti temannya Imron disekolah ya..!? “
jawabnya ramah.
“Oh, bukan bu, saya cucunya Nenek Rahmi ! ” kataku.
“ Walaahh, cucunya nek Rahmi toh, Neng Lena kan?..
Waduh, udah lama banget nggak kemari, dari kecilo sampai sekarang Neng Lena
tetap cantik yah! “
“ Aduhh, bisa aja nih Ibu, saya jadi malu “
“Ayo mari masuk, Imronnya ada didalam! “ ajaknya
dengan senyum ramahnya yang masih mengembang.
Tak lama aku duduk diruang amu, Imron keluar.
Berbeda sekali dengan Imron kecil dulu, semuanya berubah, badannya berortot
meski tak sebesar atlet, Walau tak begitu tampan, tapi wajahnya cukup manis
dengan kulit sedikit coklat.
“ Lena !! “ sapanya. Aku tersenyum. “Udah lama
banget ya nggak ketemu, apa kabar sekarang?? “
“Baik, kamu sendiri? “
“Aku juga baik” katanya.
“ Kamu beda banget ya sama waktu kecil dulu, tambah
cantik “ ujarnya tanpa rasa canggung.
“ Ahh kamu, baru juga ketemu udah ngegombal aja! “
“ siapa juga yang ngegombal, kenyataanya gitu kok!”
ujarnya lagi, aku pun hanya bisa tersipu malu.
“ Oh ya Im, ngomong-ngomong kamu ngerasa pernah
dengar suara-suara aneh nggak dari hutan belakang?
“ tanyaku langsung.
“ Suara aneh...?? Seperti apa? “
“ Yaa, kadang seperti orang nangis, kadang orang
teriak, dan kadang juga suara raungan yang keras sekali. Selama dua hari aku
disini, jadi nggak bisa tidur nyenyak. “
“ Oh yaa,, Mpmm.. sebenarnya sih, aku juga pernah
mendengarnya, tapi aku nggak terlalu ambil pusing sih..! “
“Kira-kira, itu suara apa ya..? “ lanjutku.
“ nggak tau, udahlah, ngapain juga dipikirin “
“ Tapi aku penasaran, gimana kalo lita selidiki asal
suara itu.” Ajakku. Imron tampak menghela napas dalam seraya memejamkan mata.
“ Dari kecil sampai sekarang iseng kamu itu nggak
hilang ya!? “ ujarnya. Aku tertawa kecil.
“ Iseng apaan ? “
“ Yahh, iseng lah, Dulu waktu kamu ngajak aku ngeliat
air terjun sampai ketahuan Patua dir ngintipin dia, apa itu nggak iseng
namanya, ?? sekarang malah ngajak nyelidikin suara aneh dihutan..!! “
“ ayo lahh Im, sekali ini aja “ bujukku sambil
menyatukan kedua tangan memohon padanya.
“Lupakan sajalah Len rencanamu itu, bukan apa-apa,
takutnya kenapa-kanapa, disana bahaya!! “
“Hmmhh.. Jadi gitu nih sama temen lama, ya udah, aku
pergi sendiri ajah! “
“ Jangan lahh Len!! “ bujuknya, namun bukan Lena
namanya kalau mudah menyerah.
“ Habisnya kamu nggak mau nemenin, sama siapa lagi
aku? Masa kamu tega biarin cewek sendirian kehutan, tapi kalau kamu nggak mau,
yaa,, aku nekat sendirian kesana..!! “ kataku dengan tampang memelas dan .
“ Yaa sudah, Aku temani, tapi jangan lama-lama ya
disana! “katanya dengan berat, aku tersenyum lebar seraya mengcungkan kedua ibu
jari. Hahaha,, rayuanku berhasil.
***
Waktu
menunjukaln pukul enam sore, lantunan ayat suci mulai bersenandung dimusholla
pertanda sebentar lagi adzan magrib tiba. Aku sengaja memilih waktu senja untuk
berburu asal suara itu, karena suara itu mulai muncul saat petang menjelang.
Kami menyusuri jalan setapak dihutan itu
hanya dengan dua buah lampu senter.
Sejauh ini suara-suara aneh itu masih tak terdengar, hanya nyanyian
burung-burung malam yang mulai bersahutan. Angin semilir membelai bulu kudukku,
membuatku merinding jadinya. Meski sisa-sisa cahaya senja masih ada, tapi
disini sudah mulai sangat gelap.
“ ngerasa merinding nggak Im? “ tanyaku pada Imron.
“ Nggak tuh, kenapa? Takut ya ? “ ledeknya.
“ Ahh, siapa yang takut, aku kan yang ngajak kamu
kesini, dalam kamusku, nggak ada yang namanya taku sama hantu...! “
“
KkRRrrkkkk.... Kkrrkkk... nggrrrkkkk... “ Tiba-tiba saja suara itu muncul.
Membuatku terperanjat, namun kulihat Imron nampak tenang-tenang saja.
“ Suara apa itu ? “ kataku.
“ Itu Monyet Lutung “ jawab Imron.
“ kanapa mereka tiba-tiba bersuara seperti itu ? “
“ Entahlah, menurut nenekku dulu sih, kalau monyet
itu bersuara seperti itu, pasti menandakan ia melihat makhluk halus” jelasnya.
“ Ahh masa?? “ aku sedikit tidak percaya.
“ Jadi mau terus apa mau lanjut? Lagian kita udah
sejauh ini, suara itu nggak muncul juga! “
“ Sebentar lagi deh “ pintaku.
“ Ayoo, mendingan kita balik aja, takutnya ntar ada
binatang buas gimana..!? “
“ Yaa udah
deh “ kataku menurut. Lagi pula udara mulai dingin, aku tak suka dangan udara
seperti ini.Kami pun memutar langkah.
Dalam
hutan ini semakin sunyi, asap-asap yang entah darimana asalnya bergelayutan
diruang kosong. “ Hnnnngggg... Hnnngg,, Srrrrrkkk,...“ Suara itu muncul, ya,
tidak salah lagi suara itu yang kudengar setiap malam. Kami menghentikan
langkah.
“ Imron, kau dengar itu ? “ tanyaku.
“ Yaa,
suaranya barasal dari sana! “ jawabnya seraya menunjuk kekiri dibelakangku.
“ Sepreti suara tangisan perempuan, ayo kita cari “
ajakku.
“ Apa kau yakin? “ Imron nampak ragu.
“Ayolahh...” Desakku.
Kami melangkah pelan mengikuti arah suara itu. “
Hnngggg... Hnnggg.. Hahahahihi..Hahahah.. “ Tangisan itu bercampur tawa yang terbahak-bahak .
“ Aaaaaaaaaaa... Haaaaaaaaaaaaaa.... “ Teriakan
panjang dan memekik terdebngar nyaring. Kami semakin mempercepat langkah, Imron
mengenggam erat tanganku, aku mengikutinya dibelakang.
Sebuah
pondok kecil nampak dari kejauhan, sepertinya suara itu berasal dari sana. Aku
menarik nafas. Kami menuju kearah pondok itu, mencari tau apa yang ada
didalamnya.
Sampai tepat didepanya. Suara itu masih ada, Seperti
orang meringis. Imron membuka pelan pintu tanpa gagang itu, dengan hati-hati
dan rasa tegang. Ku arahkan senter kedalamnya. Alangkah Terperanjat aku melihat
sosok Wanita dengan rambut panjang hanya memakai kain sarung dibadanya.
Tubuhnya nampak kotor, rambutnta sudah kusut tak beraturan. Wajahnya kotor
dengan debu. Keringat mengucur dikeningnya, pinggiran matanya hitam, perutnya
besar, sepertinya wanita ini hamil tua. Bau anyir dimana-mana tak terelakkan.
Kami mencoba masuk ruang sempit ini. Mata wanita itu melotot sambil tubuhnya
menggigil, tangannya memegang erat perutnya yang besar.Kedua kakinya dipasung
dengan potongan batang pohon. Sungguh, aku miris sekali melihatnya. Usianya
nampak tak jauh berbeda dengan kami.
“ Sari!! “ kata Imron. Wanita itu tak bergeming.
“ kau kenal dia Im ? “ tanyaku.
“ Dia Sari, dia anaknya Patua Dir, Pantas saja dia
tak terlihat Selama sekitar delapan bulan ini!” jawabnya datar seraya menutup
hidung. Mungkin karena tak tahan dengan bau anyir dan busuk yang ada disini.
“ Kamu Kenapa disini? “ aku mencoba berkomunikasi
dengannya. Tapi sia-sia, ia tak bersuara sedikitpun. Hanya gemertak gigi yang
terdengar, ia menggigil seperti antara dingin atau sakit.
“ Sebaiknya kita cepat memberitahukan ini pada pak
kades “ kata Imron. Tan[a pikir panjang kami kembali menuju desa.
***
Patua Dir
beramai-ramai digiring warga menuju hutan setelah kami melapor pada pak Kades.
Wajah Patu Dir nampak pucat, sepertinyaa da sesuatu yang disimpannya.
Kami tiba
didepan pondok itu, langsung saja pak Kades membuka pintunya. Wanita itu masih
terlihat dengan posisi seperti tadi, kali ini air mata berceceran membasahi
pipinya.
“ Apa yang terjadi pada Sari Patua Dir? “ tanya pak
Kades lantang dan geram. Sebagian warga mencoba melepas pasungan dikaki Sari.
“ Saya memasungnya, saya malu punya anak yang hail
diluar nikah! “ jawabnya tanpa beban.
“ lalu siapa yang menghamilinya “ tanya pak Kades
lagi.
“ Saya tidak tahu”
“ Bohonggg.. !! “ kata seorang Ibu dari belakang
kerumunan warga.
“ Narsih..!” kata patua Dir. Wajahnya terlihat
kaget.
“ Disini rupanya kau siksa anakku, dasar biadab!!! “
“ Ada apa sebenarnya ini, apa yang telah terjadi “
kata pak Kades, bingung. Aku dan Imron hanya diam menyaksikan.
“ laki-laki ini telah tega mengahimili anaknya
sendiri hanya untuk menuruti permintaan tumbal penunggu air terjun disana “
jelas ibu itu sambil menunjuk wajah patua Dir.
“ Tumbal.. “ kata pak Kades. Warga yang lain saling
berbisik.
“ Ya, ia menumbalkan anaknya untuk pesugihan yang
meminta wanita hamil, saya sendiri tidak bisa berbuat apa-apa, dia mengancam
akan membunuh saya dan Sari jika berani buka mulut “ terangnya. Patua Dir tak
bisa berkutik lagi, Manusia macam apa yang tega berbuat seperti ini, pikirku.
“Kita bakar saja bajingan ini hidup-hidup “ Teriak
salah satu warga.
“ Jangan, lebih baik kita serahkan dia pada pihak
yang berwajib, sekarang kita selamatkan dulu Sari .. “ Kata Pak kades.
Rintik hujan sedikit demi sedikit mulai melapisi
hitam pekat malam dihutan ini. Ditengan jalan menuju desa, sebuah tangan
merangkul bahuku.
“ Imron, apa-apaan sih! “ kataku.
“ Heyy, aku bangga punya teman wanita pemberani
sepertimu!! “ ujarnya.
“ Yeee.. siapa yang tadinya ngatain aku iseng!?”
kataku. Kami pun tertawa bersama.
Aku senang
bisa menyelamatkan nyawa Sari dan bayinya, meski agak terlambat, kabarnya Sari
mengalami lumpuh sementara dibagian kakinya dan sekarang dirawat dirumah sakit
jiwa dikota. Selesai.
By. Melda L
Tidak ada komentar:
Posting Komentar