Senin, 16 April 2012

Potret Kecil Disudut Kota


       Disudut itu, seorang wanita, perutnya membesar. Pakaiannya menunjukan kekurangan daya akalnya dari yang lain. Namun, senyumnya nampak mengembang menunggu para manusia biadab yang  tega memaanfaatkannya. Selembar uang lima ribu rupiah yang mereka aynunkan tepat didepan wajahnya, sudah cukup untuk membuatnya kegirangan dan dengan senang hati menyerahkan dirinya untuk dijamah oleh sekelompok lelaki setengah sadar akibat minuman itu.


     Rasa perikemanusiaan sepertinya sudah hilang dalam diri mereka, mungkin mereka sudah tak pantas disebut manusia. Bayi didalam perut wanita itu, entah siapa ayahnya, entah siapa keluarganya...? Setelah puas, para pemabuk itu meninggalkannya meringkuk berbaring disudut gelap malam dijembatan itu. Dingin angin malam menerpa wajahnya, suara-suara bising lalu lalang kendaraan diatas jembatan menemani malamnya yang kelam. Ia berpikir, setidaknya lima ribu perak yang diperolehnya bisa untuk menyambung hidup dihari esok. Karena dikota ini mereka berkata “ Tak ada yang gratisan jaman sekarang, mau kencing aja bayar, apalagi mau makan!! “.

     Sementara para orang pintar diibu kota nan jauh disana, asik berdebat masalah siapa yang korupsi, sibuk memperebutkan jabatan, Mencari jawaban atas masalah rencana penaikan harga BBM yang katanya karena pemerintah tak mampu menanggung dananya. Mereka duduk manis dan tidur nyenyak dikursi mewah dalam gedung besar dikota besar sana. Mereka lupa akan janji yang mereka umbar saat masih berebut kursi itu.

       

       Malam itu, para nyamuk pun tak ingin berbelas kasihan padanya. Ia terbangun dari tidurnya. Sungai dibawah jembatan itu terus mengalir, mengeluarkan suara air beriak memecah hening. Ditapakkannya kaki di tanah licin berlumpur itu, salah langkah sedikit saja nyawa akan melayang jika terjatuh dan menimpa besi-besi kokoh bangunan jembatan. Disusurinya jalanan yang mulai sepi, hanya ada satu dua kendaraan dan mobil yang lewat. Rasanya ia lebih suka berjalan dimalam hari, tak ada anak-anak yang menyorakinya orang gila disaat malam seperti ini, tak ada cemo’ohan dan usiran dari pedagang makanan yang tak mau berbelas kasihan. Bayi dirahimnya kadang bergerak meminta kasih sayang dari seorang ibu , namun ia juga tak mengerti apa yang terjadi. Dilihatnya kilau benda kecil ditengah jalan, ia mencoba memungutnya. Sebuah uang koin lima ratus perak, ia tersenyum sumringah mendapat uang itu. Saat itu juga, sebuah mobil melaju kencang dari arah belakang.

    Darah mengucur deras dari keningnya,  koin yang baru saja didapatkannya terlempar jauh. Ia meregang nyawa bersama bayi yang dikandungnya, ditengah gelap malam. Mobil itu berlalu, berpura-pura tak ada yang terjadi, menutup mata dan telinga atas perbuatanya. Seragam petinggi yang dikenakannya tak membuat tebal rasa tanggung jawabnya, ketika tak ada satupun orang yang melihat. Sepertinya ia lupa, masih ada tuhan yang maha melihat kejadian dan perbuatan diseluruh alam.

By. Melda L

Tidak ada komentar:

Posting Komentar