Disudut itu, seorang
wanita, perutnya membesar. Pakaiannya menunjukan kekurangan daya akalnya dari
yang lain. Namun, senyumnya nampak mengembang menunggu para manusia biadab
yang tega memaanfaatkannya. Selembar
uang lima ribu rupiah yang mereka aynunkan tepat didepan wajahnya, sudah cukup
untuk membuatnya kegirangan dan dengan senang hati menyerahkan dirinya untuk
dijamah oleh sekelompok lelaki setengah sadar akibat minuman itu.
Rasa
perikemanusiaan sepertinya sudah hilang dalam diri mereka, mungkin mereka sudah
tak pantas disebut manusia. Bayi didalam perut wanita itu, entah siapa ayahnya,
entah siapa keluarganya...? Setelah puas, para pemabuk itu meninggalkannya
meringkuk berbaring disudut gelap malam dijembatan itu. Dingin angin malam menerpa
wajahnya, suara-suara bising lalu lalang kendaraan diatas jembatan menemani
malamnya yang kelam. Ia berpikir, setidaknya lima ribu perak yang diperolehnya
bisa untuk menyambung hidup dihari esok. Karena dikota ini mereka berkata “ Tak
ada yang gratisan jaman sekarang, mau kencing aja bayar, apalagi mau makan!! “.
Sementara
para orang pintar diibu kota nan jauh disana, asik berdebat masalah siapa yang
korupsi, sibuk memperebutkan jabatan, Mencari jawaban atas masalah rencana
penaikan harga BBM yang katanya karena pemerintah tak mampu menanggung dananya.
Mereka duduk manis dan tidur nyenyak dikursi mewah dalam gedung besar dikota
besar sana. Mereka lupa akan janji yang mereka umbar saat masih berebut kursi
itu.
Malam
itu, para nyamuk pun tak ingin berbelas kasihan padanya. Ia terbangun dari
tidurnya. Sungai dibawah jembatan itu terus mengalir, mengeluarkan suara air
beriak memecah hening. Ditapakkannya kaki di tanah licin berlumpur itu, salah
langkah sedikit saja nyawa akan melayang jika terjatuh dan menimpa besi-besi
kokoh bangunan jembatan. Disusurinya jalanan yang mulai sepi, hanya ada satu
dua kendaraan dan mobil yang lewat. Rasanya ia lebih suka berjalan dimalam
hari, tak ada anak-anak yang menyorakinya orang gila disaat malam seperti ini,
tak ada cemo’ohan dan usiran dari pedagang makanan yang tak mau berbelas
kasihan. Bayi dirahimnya kadang bergerak meminta kasih sayang dari seorang ibu
, namun ia juga tak mengerti apa yang terjadi. Dilihatnya kilau benda kecil
ditengah jalan, ia mencoba memungutnya. Sebuah uang koin lima ratus perak, ia
tersenyum sumringah mendapat uang itu. Saat itu juga, sebuah mobil melaju
kencang dari arah belakang.
Darah
mengucur deras dari keningnya, koin yang
baru saja didapatkannya terlempar jauh. Ia meregang nyawa bersama bayi yang
dikandungnya, ditengah gelap malam. Mobil itu berlalu, berpura-pura tak ada
yang terjadi, menutup mata dan telinga atas perbuatanya. Seragam petinggi yang
dikenakannya tak membuat tebal rasa tanggung jawabnya, ketika tak ada satupun orang
yang melihat. Sepertinya ia lupa, masih ada tuhan yang maha melihat kejadian
dan perbuatan diseluruh alam.
By. Melda L
Tidak ada komentar:
Posting Komentar